"Upacara TABOT" Budaya Keagamaan yang Menjadi Wisata Kebuyaan Bengkulu
Upacara TABOT
|
Budaya
Keagaman yang Menjadi Wisata Kebudayaan Bengkulu
|
By:
Dhanang
Abdhul Wahid
22214904
Daftar
Isi
Daftar Isi...............................................................................
Latar
Belakang......................................................................
Asal Usul Upacara Tabot......................................................
Munculnya Upacara Tabot di Bengkulu...............................
Tahapan Prosesi Upacara
Tabot...........................................
Upacara Tabot, Pesona Wisata
Budaya................................
Penutup.................................................................................
Daftar
Pustaka......................................................................
Latar Belakang
Uapacara
Tabot atau Festival Tabot di Bengkulu merupakan salah satu perayaan budaya
tahunan yang menarik untuk disaksikan. Atraksi budaya yang berbalut agama ini
bahkan digemari wisatawan domestik dan mancanegara. Saat upacara digelar maka
dipastikan ratusan bahkan ribuan orang tumpah-ruah di sepanjang jalan dan
lapangan utama kota Bengkulu untuk menyaksikan berbagai tahapan prosesi menarik
dan sakral tersebut.
Festival
Tabot di Bengkulu selain menggelar upcara ritual, biasanya juga dimeriahkan
pertunjukan seni, pasar rakyat, pameran kriya, serta lomba delman hias, rebana,
tari tabot, dan beragam acara seni lainnya. Bahkan kita dapat melihat tabot
utama dan tabot kecil dipamerkan dengan lampu kerlap-kerlip menghiasi gelapnya
malam di kota Bengkulu.
Festival
Tabot di Bengkulu menggelar prosesi pengambilan tanah dari tempat yang
ditentukan untuk kemudian ditempatkan dalam replika keranda Imam Husein.
Berikutnya diiringi lantunan musik tradisional maka puluhan tabot akan diarak
mengelilingi kampung di Bengkulu. Kita akan mendengar iringan tabot ditemani
suara alat musik dal yang berbentuk
tambur bulat terbuat dari akar bagian bawah pohon kelapa. Perayaan ini layaknya
parade kendaraan hias dimana prosesi akhir adalah pembuangan tabot di Karbela
yaitu sekira 3 km dari lokasi festival. Pengarakan tabot ke tempat pembuangan
ini merupakan acara puncak Festival Tabot.
Dengan kemeriahan festival Tabot ini,
membuat saya penasaran akan seluk-beluk festival Tabot ini. Maka dalam tulisan
ini, saya akan membahas mengenai Tabot ini secara mendalam, dari sejarah asal
usulnya, kemunculannya di Bengkulu, hingga prosesi-prosesi yang ada dalam festival
Tabot itu sendiri.
Asal Usul Upacara Tabot
Upacara Tabot merupakan upacara tradisional masyarakat
Bengkulu yang diadakan untuk memperingati kematian atau
kesyahidan Imam Hussein
bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW, yang wafat dalam peperangan di
padang Karbala, Irak pada awal bulan Muharam 61 Hijriah (681 M). Bisa dibilang
upacara ini termasuk kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh sebagian Umat Islam
di Bengkulu. Upacara Tabot ini dilakukan dengan beberapa rangkaian acara, yang
seluruh rangkaiannya dilaksanakan selama sepuluh hari, yakni dari tanggal 1
sampai dengan tanggal 10 Muharam.
Keseluruhan proses yang dilakukan dalam
Upacara Tabot ini, diyakini sebagai bentuk ekspsresi ke-cintaan terhadap cucu
Nabi Muhammad SAW, yakni Husein bin Abi Thalib yang terbunuh di Padang
Karbala.Sekaligus juga sebagai ekspresi permusuhan terhadap keluarga Bani
Umayyah pada umumnya dan khususnya pada Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani
Umayyah yang memerintah waktu itu, beserta Gubernur ‘Ubaidillah bin Ziyad yang
memerintahkan penyerangan terhadap Husain bin ‘Alî beserta pasukannya.
Upacara Tabot ini memiliki kemiripan
dengan tradisi Ta'ziyah di kalangan Syi'ah di Iran, yang juga dilakukan
dalam rangka memperingati kesyahidan Imam Husein Bin Abi Thalib tersebut. Ini
tentu menjadi sebuah hal yang menarik, melihat kenyataannya bahwa upacara
keagamaan yang bernuansa ajaran Syi’ah tersebut bisa bertahan di Bengkulu
hingga saat ini. Padahal masyarakat
Bengkulu didominasi oleh pemeluk Islam yang menganutpaham Islam Sunni.
Namun dalam perkembangannya, dijelaskan
dalam Titik Temu Sunny & Syi’i, Harapandi Dahri memberikan uraian
menarik bagaimana masyarakat Bengkulu memahami dan menerima keberadaan tradisi
Tabot di lingkungan mereka. Masyarakat Bengkulu secara umum cenderung
memposisikan upacara Tabot sebagai bagian dari kegiatan seni-budaya, seperti festival yang memberikan keuntungan
ekonomi, serta menandai kekayaan khazanah sejarah Bengkulu. Banyak di antaranya
yang secara tegas menolak kecenderungan pengkultusan berlebihan terhadap Husain
dalam upacara Tabot sebagaimana yang terjadi dalam praktik ta’ziyah di Irak atau Iran. Dalam kadar tertentu, masyarakat
Bengkulu tampaknya lebih melihat upacara Tabot dari sisi bentuknya sebagai festival rakyat ketimbang dari sisi
isinya yang penuh dengan muatan-muatan keagamaan.
Munculnya
Upacara Tabot di Bengkulu
Tidak ada penjelasan tertulis yang
menerangkan kapan upacara Tabot mulai dikenal atau dilaksanakan di lingkungan
masyarakat Bengkulu. Bahkan, William Marsden, seorang penulis yang banyak mengamati
masyarakat Sumatra, serta berada di Bengkulu pada saat Bengkulu dikuasai oleh
Inggris, tidak menyinggung tentang Tabot sama sekali.
Namun, oleh banyak pihak, tradisi
upacara Tabot di Bengkulu ini diyakini mulai muncul pada saat pembangunan
Benteng Marlborough. Para perintis upacara Tabot Bengkulu ini adalah para
pekerja yang dibawa oleh Inggris (East Indian Company) dari Madras dan
Bengali (bagian Selatan India) ke Bengkulu untuk membangun benteng tersebut
pada tahun 1336 M. Meskipun ada sebagian dari para pekerja ini pulang kembali
ke daerah asalnya di India setelah pembangunan benteng selesai, namun ada
sebagian dari para pekerja tersebut yang menetap di Bengkulu. Sehingga mereka beserta
keturunannya yang menetap di Bengkulu ini berasimilasi dengan penduduk
setempat.Yang pada akhirnya keturunan mereka, dikenal sebagai orang-orang Sipai
hingga saat ini.
Maulana Ichsad, Imam Sobari, Imam
Suandari dan Imam Syahbudin adalah orang yang sering disebut-sebut sebagai
orang-orang yang dibawa oleh Inggris dari India ke Bengkulu, yang kemudian
memulai perayaan Tabot Bengkulu. Namun, beberapa waktu kemudian, orang-orang
ini kembali ke India. Dalam hal ini, tidak ada keterangan resmi yang
menjelaskan tentang tata cara pelaksana Tabot Bengkulu di waktu-waktu
berikutnya, setelah orang-orang tersebut kembali ke India. Kemudian muncul nama
Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo (1714 M) dan keturunannya yang melakukan
dan melestarikan upacara Tabot Bengkulu hingga saat ini. Hanya saja, informasi
ihwal hubungan antara Imam Senggolo dengan orang-orang seperti Maulana Ichsad,
Imam Sobari, Imam Suandari dan Imam Syahbudin tidak ada keterangan yang
menjelaskannya.
Keluarga-keluarga pewaris Tabot ini
mengakui bahwa peran mereka dalam upaya melaksanakan dan melestarikan upacara
Tabot melainkan karena wasiat dari leluhur mereka. Masing-masing keluarga
pewaris Tabot yang secara umum tinggal di Kecamatan Teluk Segara ini dipimpin
oleh kepala keluarga dan anak laki-laki tertua. Sebagai keluarga-keluarga pewaris
Tabot, mereka biasanya memiliki satu perangkat “penja” yakni sebuah benda yang menyerupai telapak tangan lengkap
dengan jari-jarinya. Ini merupakan penanda bahwa keluarga mereka adalah pewaris
Tabot itu sendiri.
Keluarga pewaris Tabot atau orang-orang
Sipai ini belakangan (1991 M) membentuk perkumpulan bersama yang dinamakan
Kerukunan Keluarga Tabot (KKT). Pembentukan KKT ini dilatarbelakangi oleh
undangan yang diterima oleh Propinsi Bengkulu untuk menampilkan kekayaan seni
budaya mereka di Jakarta pada tahun 1991. Menyambut undangan tersebut, Pemerintah
Propinsi Bengkulu tampaknya memandang perlu untuk menampilkan prosesi Tabot
sebagai bagian dari warisan seni-budaya masyarakat Bengkulu. Oleh karnanya,
tampilah KKT sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan
kegiatan-kegiatan semacam ini. Dalam perkembangan berikutnya, Orang Sipai atau
keluarga Tabot yang sudah tergabung dalam KKT ini mendapat dukungan penuh dari
Pemerintah Daerah Bengkulu dalam prosesi perayaan Tabot setiap tanggal 1 sampai
tanggal 10 Muharam setiap tahunnya, yang oleh pemerintah dipandang bisa menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan luar atau dalam negri untuk datang ke
Bengkulu.
Di Bengkulu, terdapat 17 kelompok Tabot
yang masing-masing bertanggung jawab untuk melaksanakan dan melestarikan
Upacara Tabot. 17 kelompok Tabot tersebut adalah: Syafril (Tabot Imam/Pasar
Melintang), Zainuddin (Bangsal/Tengah Padang), Syapuan Dahlan (Tabot Kampung
Batu), Bayu Syarifuddin (Tabot Kampung Bali), Agussalim Kasim (Tabot Lempuing),
Zulkifli (Tabot Tengah Padang), Syofyan (Tabot Kebun Ros), Syaiful Mukli (Tabot
Penurunan), Ibrahim Kaem (Tabot Pondok Besi), Dayat Djafri (Tabot Bajak), Idrus
Kasim (Tabot Anggut Bawah), Bambang Hermanto (Tabot Tengah Padang), Muhidin
(Tabot Malabero), Mahyuddin (Tabot Kebun Beler), Saidina Muhammad (Tabot Tengah
Padang) dan Bayuang Saril (Tabot Tengah Padang). Mereka adalah
kelompok-kelompok yang memegang benda pusaka Tabot di Bengkulu atau disebut “penja”.
Tahapan Prosesi
Upacara Tabot
Dalam setiap tahunnya, kelompok-kelompok
inilah yang bertugas melaksanakan Upacara Tabot setiap tanggal 1 sampai dengan
10 Muharam. Dalam rentang waktu sepuluh hari tersebut, kelompok-kelompok ini
berperan aktif dalam berbagai prosesi,adapun tahapan-tahapannya sebagai
berikut:
Tahap Pertama,
adalah Mengambik Tanah (mengambil tanah). Tanah yang diambil pada
tahapan ini haruslah berasal dari tempat keramat yang mengandung unsur-unsur
magis, seperti di Keramat Tapak Padri yang terletak di dekat
Benteng Marlborough dan Keramat Anggut, yang berada di
pemakaman umum Pasar Tebek. Mengambik Tanah akan dilakukan
pada 1 Muharam, pukul 22.00 WIB. Tanah ini nantinya akan dibungkus dengan kain
kafan putih dan dibentuk seperti boneka manusia,lalu
diletakkan di Gerga, yaitu Gerga Berkas dan Gerga Bangsal.
Menurut kepercayaan masyarakat, tanah
yang diambil dan dibentuk menjadi seperti boneka manusia tersebut mengandung
nilai magis, yang melambangkan jenazah Husain bin Ali yang menjadi dasar
diselenggarakannya upacara tabot ini.
Tahap Kedua, adalah Duduk
Penja (mencuci jari-jari). Penja adalah benda yang
terbuat dari kuningan, perak, atau tembaga yang berbentuk telapak tangan
manusia, lengkap dengan jari-jarinya. Penja yang dianggap
sebagai benda keramat yang mengandung unsur magis oleh keluarga Sipai, harus
dicuci dengan air limau setiap tahunnya. Duduk Penja dilaksanakan
pada tanggal 5 Muharam pukul 16.00 WIB di rumah dukun atau
pimpinan dari kelompok tabot yang bersangkutan
Penja atau jari-jari dalam upacara tabot melambangkan tubuh Husain bin Ali
yang dalam kondisi tercerai berai atau terpisah-pisah sebagai akibat dari
kekejaman pasukan Ubaidillah bin Zaid pada Perang Karbala. Pada umumnya ritual
ini bermaksud untuk meningkatkan semangat juang kaum Syiah dalam memperjuangkan
cita-cita keberagamaan mereka.
Tahap Ketiga, adalah Meradai (mengumpulkan dana) yang dilakukan oleh Jola (bahasa Melayu yang artinya orang yang bertugas mengambil dana
untuk kegiatan kemasyarakatan, biasanya terdiri dari anak-anak berusia 10—12 tahun).
Acara Meradai diadakan pada tanggal 6 Muharam siang hari,
antara pukul 07.00—17.00 WIB.pengambilan dana oleh jola
ini dilakukan dengan tertib agar tidak terjadi tumpang tindih terhadap sasaran
acara ini. Untuk itu, sebelum turun ke lapangan para jola dikumpulkan dan
diberi pengarahan oleh pimpinan kelompok mereka.
TahapKeempat, adalah Manjara,
merupakan acara berkunjung atau mendatangi kelompok lain untuk beruji atau
bertanding dal, (alat musik sejenis beduk, yang terbuat dari kayu dengan
lubang di tengahnya, serta ditutupi kulit lembu). Biasanya
menjara dilaksanakan pada tanggal 6 dan 7 Muharam mulai pukul 20.00 hingga
23.00 WIB. Salah satu keistimewaan dari tahap Menjara ini
adalah perang yang dilakukan oleh dua kelompok, yakni Tabot Bangsal dan Tabot
Barkas. Namun, perang yang dilakukan dalam festival ini, bukanlah perang yang
berbahaya. Karena pada acara ini, perang antara dua kelompok tersebut
disimbolkan dengan pertandingan dal.
Pada malam pertama Menjara, salah
satu kelompok Tabot akan menghampiri kelompok lainnya. Dalam perjalanan,
kelompok ini akan memukulkan dal untuk menarik massa dari
setiap kampung yang dilewati, sehingga jumlahnya terus bertambah. Ketika kedua
kelompok bertemu, maka dimulailah adu dal. Kedua kelompok
langsung beradu menabuh dal sekuat-kuatnya. Konon, dulunya
adu dal ini dilakukan hingga ada yang pecah.Usai mengadu dal, kelompok
yang datang, mengunjungi gerga tua (bangunan yang menjadi
simbol benteng pertahanan Hussein saat berperang). Di sini, jari-jari Tabot
yang dibawa pada saat menggalang massa akan melakukan soja, atau
bersambut dengan jari-jari kelompok Tabot lainnya. Hal ini menandakan
ritual menjara hari pertama berakhir.
Keesokannya ritual Menjara kembali
dilakukan. Kali ini, kelompok yang sebelumnya dikunjungi, balas mengunjungi
kelompok lainnya. Rombongan berjalan kaki ke gerga tua untuk
mengambil jari-jari dan menjemput massa dari kampung-kampung yang dilewati.
Sampai di tempat tujuan, perang kembali dimulai. Kedua kelompok berperang,
beradu menabuh dal.Dal dalam acara ini disimbolkan dengan
genderang perang pasukan Husain bin Ali ketika berperang di Padang Karbala.
Tahap Kelima, adalah Arak
Penja (mengarak jari-jari), di
mana penja diletakkan di dalam Tabot dan diarak di jalan-jalan
utama Kota Bengkulu. Setiap kelompok tabot mengirimkan 10
hingga 15 orang (biasanya terdiri dari anak-anak dan remaja) untuk mengikuti
acara ini. Kegiatan ini dilaksanakan pada malam ke-8 dari bulan Muharam, yaitu
sekitar pukul 19.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 21.00 WIB.
Tahap Keenam,arak
seroban (mengarak sorban) atau disebut juga malam coki
bersanding. merupakan acara mengarak penja yang
ditambah dengan serban(sorban) putih dan diletakkan pada tabot coki (tabot kecil). Tabot coki ini dilengkapi dengan bendera atau panji-panji
berwarna putih dan hijau atau biru yang bertuliskan nama “Hasan dan Husain”
dengan kaligrafi Arab yang indah. Kegiatan ini diadakan pada malam ke-9 Muharam
sekitar pukul 19.00-21.00 WIB.
Arak
sorban sarat akan simbolisasi keislaman, yaitu
diantaranya sorban atau seroban yang
melambangkan ajaran Islam. Arak sorban
ini memiliki arti, setiap keluarga Syiah dan keluarga Sipai hendaklah memandang
bahwa ajaran Islam harus dijunjung tinggi, dipedomani dan dipatuhi. Selain itu,
bendera panji mengandung arti kemenangan, untuk itu setiap pasukan memiliki
bendera panji yang senantiasa harus selalu ditegakkan, karena jika bendera
tersebut jatuh atau direbut lawan maka berarti pasukan tersebut dinyatakan
kalah. Sedangkan bendera berwarna hitam/biru dan hijau merupakan perlambangan
dari bendera Syi’ah dan bendera berwarna putih perlambangan dari perdamaian.
Tahap Ketujuh, adalah Gam (tenang/berkabung),
merupakan tahapan dalam upacara Tabot yang wajib ditaati. Tahap Gam merupakan
saat di mana tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan apapun atau disebut juga masa tenang. Gam berasal dari
kata ‘ghum‘ yang berarti tertutup atau terhalang, diadakan setiap
tanggal 9 Muharam dari pukul 07.00—16.00 WIB. Pada waktu tersebut, semua
kegiatan yang berkaitan dengan upacara Tabot tidak boleh dilakukan.
Tahap Kedelapan, dilakukan
pada tanggal 9 Muharam juga, sekitar pukul 19.00 WIB, yang disebut dengan Arak
Gendang. Tahap ini dimulai dengan pelepasan Tabot Besanding di gerga masing-masing.
Usai pelepasan, tiap-tiap Tabot berarak dari gerganya
masing-masing, menempuh rute yang telah ditentukan sebelumnya. Seluruh grup ini
akan bertemu dan membentuk arak-arakan besar (pawai akbar
menuju Lapangan Merdeka). Acara ini turut diramaikan dengan kehadiran
grup-grup penghibur dan masyarakat pendukung grup Tabot.
Acara akan berakhir sekitar pukul 20.00 WIB, ditandai dengan berkumpulnya
seluruh tabot dan grup penghibur di Lapangan Merdeka. Selanjutnya tabot
dibariskan atau disandingkan, karena itulah proses ini dinamakan “Tabot
Besanding.”
Tahap Terakhir, disebut
dengan Tabot Tebuang yang diadakan pada tanggal 10 Muharam. Seluruh
Tabot berkumpul dan dibariskan di Tapak Paderi pada pukul 09.00 WIB. Tak
ketinggalan grup hiburan juga telah berkumpul untuk menghibur peserta upacara
Tabot dan para pengunjung. Sekitar pukul 11.00 WIB, semua grup Tabot berarak
menuju Padang Jati dan berakhir di kompleks pemakaman umum Karabela. Tempat ini
dijadikan lokasi Tabot Tebuang, karena di sinilah tempat dimakamkannya
Imam
Senggolo atau Syekh Burhanuddin.
Pada pukul
12.30 WIB ritual Tabot Tebuang dimulai. Untuk perayaan Tabot,
acara terakhir ini dianggap memiliki nilai magis, sehingga harus dipimpin oleh
Dukun Tabot tertua. Di akhir acara, bangunan tabot dibuang ke rawa-rawa yang
berdampingan dengan kompleks makam tersebut. Dibuangnya Tabot ini, menandakan
selesainya seluruh rangkaian upacara tersebut.
Keseluruhan proses yang dilakukan dalam Upacara
Tabot ini diyakini sebagai bentuk ekspsresi kecintaan terhadap cucu Nabi
Muhammad SAW, yakni Husein bin Abi Thalib yang terbunuh di Padang Karbala,
sekaligus juga sebagai ekspresi permusuhan terhadap keluarga Bani Umayyah pada
umumnya dan khususnya pada Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah yang
memerintah waktu itu, beserta Gubernur ‘Ubaidillah bin Ziyad yang memerintahkan
penyerangan terhadap Husain bin ‘Alî beserta pasukannya.
Upacara Tabot,
Pesona Wisata Budaya
Masyarakat Bengkulu sangat memahami
bahwa Tabot adalah suatu upacara tradisional yang bersifat ritual yang
dilaksanakan setiap tahun, terutama oleh Kerukunan
Keluarga Tabot (KKT) dengan mengikuti kalendar Islam yaitu tanggal 01-10
Muharram. Dipandang dari sisi pariwisata, keunikan bentuk dan upacara Tabot
yang bersifat ritual tersebut dapat menjadikan atraksi tersendiri bagi
wisatawan untuk dapat dinikmati. Seiringan dengan perjalanan waktu, upacara
Tabot ini akhirnya berkembang dalam bentuk atraksi budaya dan hiburan rakyat di
Bengkulu.
Dalam rangka pembangunan kepariwisataan nasional dan daerah, pemerintah
melihat bahwa prosesi upacara Tabot telah dijadikan menjadi salah satu event
nasional yang dilaksanakan setiap tahun, yang dikemas dalam suatu kegiatan Festival. Kegiatan ini diharapkan dapat
menarik para wisatawan untuk mengunjungi Bengkulu, baik itu wisatawan domestik
maupun wisatawan mancanegara. Pemerintah juga berharap kepada seluruh staff
baik itu instansi pemerintahan, swasta dan masyarakat serta partisipasi provinsi
dan kabupaten lain dapat mensukseskan Festival Tabot sebagai peristiwa utama
(Major event) Pariwisata Provinsi Bengkulu.
Penutup
Setelah melihat dari berbagai referensi
yang saya temui, dapat saya simpulkan bahwa upacara Tabot adalah suatu cara
masyarakat lokal Bengkulu untuk memperingati kematian atau kesyahidan Imam
Husein ibn Ali ibn Abi Thalib di Padang Karbala pada awal bulan Muharam 61
Hijriyah (681 M). Dengan kata lain, Upacara Tabot adalah versi lain dari
tradisi Ta’ziyah yang dilakukan oleh kalangan Syi'ah di wilayah Asia
Selatan (India) yang dibawa ke Bengkulu oleh para imigran India yang sekarang
disebut sebagai orang-orang Sipai.
Di samping itu, upacara Tabot Bengkulu
memang diakui sebagai upacara keagamaan yang berasal dari atau dipengaruhi oleh
tradisi Syi'ah. Tapi, karena sudah cukup lama dipraktikkan oleh beberapa
generasi, maka upacara tabot ini sudah dianggap sebagai bagian warisan
kebudayaan Bengkulu. Di sini, elemen-elemen keagamaan dari upacara tabot
ditekan, sementara elemen-elemen etno-kulturalnya diperkuat, dan semua itu
dikemas dalam bentuk festival.
Terlebih, pada masa Orde Baru, Upacara Tabot direvitalisasi sebagai warisan
budaya bangsa Indonesia. Karenanya, pelaksanaan Upacara Tabot kemudian
mendapatkan dukungan dari pemerintah sehingga dipromosikan secara
besar-besaran. Guna menjadi daya tarik pariwisata Bengkulu, agar para wisatawan
domestik dan mancanegara dapat berkunjung dan turut memeriahkan festival Tabot
ini.
Daftar Pustaka
Dilihatdari, http://www.indonesia.travel/id/destination/304/benteng-marlborough/article/131/festival-tabot-perayaan-budaya-penuh-warna-dan-atraksi-di-kota-bengkulu, diakses tanggal 01-12-2014.
Dilihatdari, http://www.arrahmah.com/read/2012/11/27/25075-pesta-kematian-padang-karbala.html, diakses tanggal 01-12-2014.
Badeni, Upacara
Tabot dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Kotamadya
Bengkulu: Laporan Penelitian,Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Universitas Bengkulu, Balai Penelitian,1991.
Hamidy, Badrul
Munir (Ed.), dkk., Upacara Tradisional Daerah Bengkulu; Upacara Tabot di
Kotamadya Bengkulu, Bagian Proyek Inventarisasi dan
Perkembangan Nilai-Nilai Budaya daerah
Bengkulu, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1991/1992.
Fauzi, Ihsan Ali, Tiap
Hari Asyura, Tiap Bulan Muharam: “Paradigma Karbala” sebagai Sumber Protes Kaum
Syiah, (Makalah untuk Peringatan Asyura ICAS-Paramadina, tidak
diterbitkan).
Hamidy
(Ed.), dkk., Upacara Tradisional Daerah Bengkulu; Upacara Tabot di Kotamadya
Bengkulu, h. 66-73.
Dahri, Harapandi, Titik
Temu Sunny dan Syi’i; Kajian Tradisi Tabot Bengkulu, Jakarta: Penamadani,
2008.
Komentar
Posting Komentar